Dosen Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak yang juga Managing Partner Pengacara Perempuan; Advocate & Counselor at Law Halimah Humayrah Tuanaya, S.H., M.H. memberikan pandangannya terkait pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pernyataan dimuat di detikcom dengan link di sini .
Jakarta – DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang. Lahirnya UU ini disambut positif oleh akademisi.
“RUU TPKS, yang baru disahkan, memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan peraturan yang berkaitan dengan kekerasan seksual sebelumnya, seperti KUHP, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak. RUU TPKS sangat progresif,” kata dosen hukum perlindungan perempuan dan anak Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya, kepada wartawan, Selasa (12/4/2022).
Menurut Halimah, lahirnya kebijakan yang terdiri atas 93 pasal itu menjadi angin segar perlindungan perempuan. Negara akhirnya hadir dan menunjukkan keberpihakannya pada korban kekerasan seksual.
“Disahkannya RUU TPKS menjadi UU telah dinanti banyak korban. Jadi pengesahan ini menjadi angin segar bagi perlindungan perempuan,” ujar Halimah.
Perjalanan RUU TPKS sangatlah panjang. Sejak 2015, Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Komnas Perempuan terus mendorong lahirnya kebijakan untuk melindungi korban kekerasan seksual. Hal ini didasarkan pada pendokumentasian kasus oleh FPL selama 10 tahun yang menunjukkan kasus kekerasan seksual sulit diproses hukum.
“Pada 2016, FPL sebagai penggagas RUU TPKS mendorong DPR memasukkan RUU TPKS ke dalam Prolegnas. Selanjutnya, FPL tidak lagi sendiri mengawal proses legislasi. Pada 2019, lahirlah Jaringan Masyarakat Sipil (JMS). Dan berdasarkan pemberitaan, pada Januari 2022 barulah lahir Jaringan Pembela Korban Kekerasan Seksual yang juga turut melakukan advokasi,” beber Halimah.
RUU PKS pada 2020 masuk dalam Prolegnas, namun DPR sama sekali tidak melakukan pembahasan. Dan kemudian 2021 kembali masuk Prolegnas dan dilakukan pembahasan dan pembahasan lanjutan pada 2022 secara intensif dan selesai pada 6 April 2022.
“FPL dan JMS memberikan catatan capaian yang baik dalam RUU TPKS. RUU TPKS telah memasukkan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual,” ucap Halimah.
Masuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual. Dengan demikian, pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan Terpadu.
“Adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual,” cetusnya.
Adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban. Adanya ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum.
“Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku,” urainya.
Adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli, dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli, dan pendamping korban.
“Terakhir, UU TPKS sudah dinantikan banyak korban. Karena itu, pemerintah perlu segera menyusun peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang dimandatkan UU TPKS,” tutup Halimah.