Setiap pasangan yang sudah menikah tentunya mempunyai keinginan untuk
mempunyai anak untuk melanjutkan keturunan dan mewarisi harta kekayaan mereka di
kemudian hari. Namun, sayangnya tidak semua dari mereka diberi kepercayaan oleh Tuhan
untuk memiliki anak. Oleh karena itu, terkadang jalan yang bisa ditempuh salah satunya
adalah mengangkat anak. Anak yang diangkat dibesarkan seperti anak sendiri dan dipenuhi
segala kebutuhan hidupnya, namun persolan kerap muncul di kemudian hari apabila sudah
berkaitan dengan harta warisan.
Persoalan mengenai hak waris terhadap anak angkat sering kali menjadi hal yang
membingungkan dan diributkan. Apalagi apabila setelah mempunyai anak angkat, pasangan
suami isteri yang mengangkat anak tersebut dikarunia anak kandung. Alhasil, di beberapa
kasus, anak kandung sering merasa terancam dengan keberadaan anak angkat karena
dianggap akan menggeser posisinya atau mengurangi haknya untuk mewarisi harta orang tua
mereka.
Oleh karena itu, perlu kita pahami bahwa posisi anak angkat dengan anak kandung
dalam hal hak waris sebenarnya sudah ada pengaturannya tersendiri. Berikut akan kita bahas
hak anak angkat dan anak kandung dalam hal hak waris dari dua perspektif, yakni menurut
KUHPerdata dan Hukum Kewarisan Islam.
Sebelum masuk ke pokok permasalahan, perlu kita ketahui terlebih dahulu pengertian
dari anak angkat menurut hukum, yakni menurut Undang-Undang Perlindungan Anak dan
Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, (pasal 1 angka 9) anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang
lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.
Kompilasi Hukum Islam (Pasal 171 huruf h) menjelaskan bahwa anak agkat adalah anak
yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan lain sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan pengadilan.
Masuk ke pokok permasalahan, bahwa sebenarnya dalam KUHPerdata memang tidak
diatur secara khusus mengenai hak waris anak angkat, namun anak angkat berhak
mendapatkan bagian melalui hibah wasiat.
Menurut Pasal 875 KUHPerdata, seseorang berhak membuat wasiat atau testamen
berisi pernyataan tentang apa yang ia kehendaki setelah ia meninggal dunia, termasuk
kehendaknya mengenai harta. Berlandaskan hal ini, orang tua angkat bisa membuat wasiat
yang memberikan bagian kepada anak angkat, tetapi pernyataan tersebut harus
memperhatikan legitime portie ahli waris.
Adapun yang diamksud dengan legitime portie menurut pasal 913 KUHPerdata adalah
sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis
lurus menurut ketentuan undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan
menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.
Jadi, pewaris boleh saja membuat suatu wasiat atau memberikan hibah kepada seseorang
(dalam hal ini contohnya anak angkat), namun demikian pemberian tersebut tidak boleh
melanggar hak mutlak (yang harus dimiliki) dari ahli waris berdasarkan undang-undang
tersebut.
Adapun yang dimaksud bagian mutlak (LP) untuk ahliwaris dalam garis ke bawah,
berdasarkan Pasal 914 KUHPerdata yaitu:
1. Jika pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah maka LP nya adalah setengah
dari bagiannya menurut undang-undang.
2. Jika meninggalkan dua orang anak sah, maka besarnya LP dua pertiga dari bagian
menurut undang-undang dari kedua anak sah tersebut, sedangkan
3. Jika meninggalkan tiga orang anak sah atau lebih, maka besarnya LP adalah tiga
perempat dari bagian para ahli waris tersebut menurut ketentuan undang-undang.
Untuk ahli waris dalam garis ke atas (orang tua, kakek/nenek pewaris), besarnya LP menurut
ketentuan Pasal 915 KUHPerdata, selamanya setengah dari bagian menurut undang-undang.
Berdasarkan penjelasan Legitime Portie di atas, Legitime Portie ini merupakan bagian yang
ditentukan undang-undang; dalam hal ini yaitu KUHPerdata. Artinya para hli waris yang
berhak yaitu ahli waris dalam garis lurus yang sudah disebutkan di atas (misal dalam
pembahasan ini adalah anak kandung) memiliki bagian dari harta peninggalan yang tidak
dapat diganggu gugat yang harus menjadi bagiannya dan telah ditetukan pula besar bagian
tersebut berdasarkan KUHPerdata.
Namun demikian, perlu diketahui bahwa terhadap setiap pemberian atau penghibahan yang
mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam pewarisan dapat dilakukan pengurangan
berdasarkan tuntutan dari ahli waris ataupun pengganti mereka. Sehingga konsep dari
Legitime portie tersebut baru berlaku kalau dituntut. Jika para hali waris (dalam
pembahasan ini contohnya anak kandung) sepakat dan tidak mengajukan tuntutan terhadap
berkurangnya bagian mutlak mereka tersebut, maka wasiat ataupun pembagian waris yang
melampaui Legitime Portie tersebut tetap berlaku.
Berikutnya dari segi Hukum Waris Islam, mengenai hukum kewarisan didasarkan
pada prinsip ijbari, bilateral, dan individual. Adapun yang dimaksud dengan asas ijbari ialah
bahwa manusia tidak bebas memberikan tirkahnya hanya kepada orang-orang yang
dikehendakinya. Sedangkan asas bilateral yakni mengandung arti seseorang dapat menerima
hak waris dari kedua belah pihak garis kerabat, baik dari garis keturunan perempuan maupun
garis keturunan laki-laki. Dan asas individual yang berarti membagikan semua tirkah pewaris
kepada seluruh kerabat dengan adil.
Tidak jauh berbeda dengan KUHPerdata, Hukum Islam juga sudah mengatur urutan ahli
waris yang berhak mendapatkan waris, yaitu Ashabul furuld, Ashabah nasabiyah,
Dzawurradi, Dzawul arham, Radd kepada salah seorang suami-isteri, ‘Ashib sababi, dan
Baitulmal.
Mengacu pada permasalahan, yakni terkait ahli waris dalam hal ini contohnya anak
kandung, maka hal ini termasuk ke dalam kelompok Ashabul furudh. Kelompok ini adalah
kelompok yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an, Hadist, dan Ijtima’ ulam. Mereka adalah
kelompok yang memperoleh bagian dari harta warisan.
Dalam pasal 174 Kompilasi Hukum Islam dirangkum siapa saja yang berhak menjadi ahli
waris menurut hukum islam.
Pertama, menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki,
saudara laki-laki, paman dan kakek; golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dan nenek. Kedua, menurut hubungan perkawinan, terdiri dari duda atau
janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak, ayah,
ibu, janda, atau duda.
Dari penjelasan mengenai kelompok ahli waris yang disebutkan di atas ternyata tidak
termasuk anak angkat, karena ahli waris (anak angkat) tak punya hubungan darah dengan
pewaris dan tidak pula hubungan perkawinan. Namun, mengacu pada pendapat Abdul
Manan, dalam bukunya ‘Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia’ (2006:219),
bahwa anak angkat dimasukkan ke dalam kategori pihak luar ahli waris yang dapat menerima
harta peninggalan pewars berdasarkan Wasiat Wajibah.
Dalam Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa “Terhadap anak
angkat yang tidak menerima wasiat diberi Wasiat Wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan orang tua angkatnya”.
Adapun yang dimaksud Wasiat Wajibah anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam ialah
orang tua angkat secara serta dianggap meninggalkan wasiat (karena itu diberi nama wasiat
wajibah) maksimal 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya atau sebaliknya
anak angkat untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya
bahwa sebelum pelaksanaan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat
wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu. Wasiat wajibah sebagai wasiat yang
pelaksanaannya tidak terpengaruh atau tidak bergantung pada kehendak yang meninggal
dunia. Wasiat wajibah ialah suatu wasiat yang diberikan kepada ahli waris atau kerabat yang
tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang meninggal karena adanya suatu
halangan syara.
Jadi sesuai dengan penjelasan di atas secara keseluruhan, dapat kita simpulkan bahwa dari
segi Hukum Perdata dan Hukum Waris Islam anak angkat tidak mendapat hak waris,
melainkan bisa mendapatkan wasiat hibah. (YU)